Saturday, April 10, 2021

Jejak sang mozaik: Imam Za'far shadiq bin Mohammad bin Ali bin Husain.

 IMAM JA'FAR ASHADIQ


Ia dilahirkan di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah atau kurang lebih pada tanggal 20 April 702 Masehi. Ia merupakan anak sulung dari Muhammad al-Baqir, sedangkan ibunya bernama Fatimah (beberapa riwayat menyatakan Ummu Farwah) binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Melalui garis ibu, ia dua kali merupakan keturunan Abu Bakar, karena al-Qasim menikahi putri pamannya, Abdurahman bin Abu Bakar. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Abdul-Malik bin Marwan, dari Bani Umayyah.



Keluarga[sunting | sunting sumber]

Ia memiliki saudara satu ibu yang bernama Abdullah bin Muhammad. Sedangkan saudara lainnya yang berlainan ibu adalah Ibrahim dan Ubaydullah yang beribukan Umm Hakim binti Asid bin al-Mughirah. Ali dan Zaynab beribukan wanita hamba sahaya, dan Umm Salamah yang beribukan wanita hamba pula.


Memiliki keturunan selanjutnya:[1]

  1. Isma'il al-Aaraj (Imam ke-7 menurut Ismailiyah)
  2. Musa al-Kadzim (Imam ke-7 menurut Dua Belas Imam)
  3. Ishaq al-Mu'taman[1]
  4. Muhammad al-Dibaj, yang mendeklarasikan dirinya sebagai Amirul Mukminin setelah Salat Jumat pada tanggal 6 Rabiul akhir 200 Hijriyah, dan kemudian berperang melawan Khalifah Abbasiyah pada saat itu, al-Ma'mun, tetapi dengan cepat ia tertangkap dan dibawa ke Khurasan.[2]
    1. Qasim[3]
      1. Abdullah
      2. Yahya
    2. Ali[4]
  5. Ali al-Uraidhi, menetap di kota Uraidh dekat Madinah.


Anak perempuan[sunting | sunting sumber]

  1. Fatimah binti Ja'far
  2. Asma binti Ja'far
  3. Ummu Farwah binti Ja'far

Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]

Sejak kecil hingga berusia sembilan belas tahun, ia dididik langsung oleh ayahnya. Setelah kepergian ayahnya yang syahid pada tahun 114 H, ia menggantikan posisi ayahnya sebagai Imam bagi kalangan Muslim Syi'ah.

Pada masa remajanya, Ja'far ash-Shadiq, turut menyaksikan kejahatan dinasti Bani Umayyah seperti Al-Walid I (86-89 H) dan Sulaiman (96-99 H). Kedua-dua bersaudara inilah yang terlibat dalam konspirasi untuk meracuni Ali Zainal Abidin, pada tahun 95 Hijriyah. Saat itu Ja'far ash-Shadiq baru berusia kira-kira 12 tahun. Ia juga dapat menyaksikan keadilan Umar II (99-101 H). Pada masa remajanya Ja'far ash-Shadiq menyaksikan puncak kekuasaan dan kejatuhan dari Bani Umayyah.

Meninggalnya[sunting | sunting sumber]

Ia meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah atau kurang lebih pada tanggal 4 Desember 765 Masehi di Madinah, menurut riwayat dari kalangan Syi'ah, dengan diracun atas perintah Khalifah Mansur al-Dawaliki dari Bani Abbasiyah.

Mendengar berita meninggalnya Ja'far ash-Shadiq, Al-Mansur menulis surat kepada gubernur Madinah, memerintahkannya untuk pergi ke rumah Imam dengan dalih menyatakan belasungkawa kepada keluarganya, meminta pesan-pesan Imam dan wasiatnya serta membacanya. Siapapun yang dipilih oleh Imam sebagai pewaris dan penerus harus dipenggal kepalanya seketika. Tentunya tujuan Al-Mansur adalah untuk mengakhiri seluruh masalah keimaman dan aspirasi kaum Syi'ah. Ketika gubernur Madinah melaksanakan perintah tersebut dan membacakan pesan terakhir dan wasiatnya, ia mengetahui bahwa Imam telah memilih empat orang dan bukan satu orang untuk melaksanakan amanat dan wasiatnya yang terakhir; yaitu khalifah sendiri, gubernur Madinah, Abdullah Aftah putranya yang sulung, dan Musa al-Kadzim putranya yang bungsu. Dengan demikian rencana Al-Mansur menjadi gagal.

Ia dimakamkan di pekuburan Baqi'Madinah, berdekatan dengan Hasan bin AliAli Zainal Abidin, dan ayahnya Muhammad al-Baqir.


Masa keimaman[sunting | sunting sumber]

Situasi politik pada zaman itu sangat menguntungkannya, sebab di saat itu terjadi pergolakan politik di antara dua kelompok yaitu Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah yang saling berebut kekuasaan. Dalam situasi politik yang labil inilah Ja'far ash-Shadiq mampu menyebarkan dakwah Islam dengan lebih leluasa. Dakwah yang dilakukannya meluas ke segenap penjuru, sehingga digambarkan muridnya berjumlah empat ribu orang, yang terdiri dari para ulama, para ahli hukum dan bidang lainnya seperti, Abu Musa Jabir Ibn Hayyan, di Eropa dikenal dengan nama Geber, seorang ahli matematika dan kimia, Hisyam bin al-Hakam, Mu'min Thaq seorang ulama yang disegani, serta berbagai ulama Sunni seperti Sofyan ats-Tsauri, Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi), al-Qodi As-Sukuni, Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki) dan lain-lain.

Di zaman Imam Ja'far, terjadi pergolakan politik dimana rakyat sudah jenuh berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah dan muak melihat kekejaman dan penindasan yang mereka lakukan selama ini. Situasi yang kacau dan pemerintahan yang mulai goyah dimanfaatkan oleh Bani Abbasiyah yang juga berambisi kepada kekuasaan. Kemudian mereka berkampanye dengan berkedok sebagai "para penuntut balas dari Bani Hasyim".

Bani Umayyah akhirnya tumbang dan Bani Abbasiyah mulai membuka kedoknya serta merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Kejatuhan Bani Umayyah serta munculnya Bani Abbasiyah membawa babak baru dalam sejarah. Selang beberapa waktu, ternyata Bani Abbasiyah memusuhi Ahlul Bait dan membunuh pengikutnya. Imam Ja'far juga tidak luput dari sasaran pembunuhan. Pada 25 Syawal 148 H, Al-Mansur membuat Imam syahid dengan meracunnya.


Pesan Moral Sayyidina Ja’far As-Shadiq kepada Imam Sufyan At-Tsauri

Imam Sufyan Ats-Tsauri (716 M/96 H-778 M/161 H), salah seorang ulama fiqih dan tasawuf terkemuka pada zamannya pernah meminta wejangan kepada Imam Ja’far As-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib (702 M/83 H-765 M/148), pendiri Mazhab Ja’fari.


Meminta nasihat kepada orang yang lebih tua merupakan bagian akhlak dan kelaziman orang-orang saleh. Selain karena lebih tua, Imam Ja’far adalah juga orang saleh dan berilmu. Kesempatan pertemuan ini tidak dilewatkan begitu saja oleh Imam Sufyan yang juga terkenal saleh dan berilmu.


*


“Wahai cucu Rasulullah, nasihatilah aku,” kata Imam Sufyan.


“Wahai Sufyan, tiada harga diri bagi orang pendusta, tiada kesenangan hati bagi orang pendengki, tiada persahabatan bagi orang yang mudah bosan, tiada kepemimpinan bagi orang yang berakhlak buruk,” kata Imam Ja’far.


“Wahai cucu Rasulullah, tambahkanlah nasihat tersebut,” kata Imam Sufyan.


“Wahai Sufyan, jagalah dirimu dari larangan Allah, niscaya kau menjadi hamba (yang baik). Ajari hatimu untuk ridha atas takdir Allah, niscaya kau menjadi muslim (yang baik). Bergaullah dengan orang lain dengan cara yang baik sebagaimana kau menginginkan mereka memperlakukanmu dengan baik, niscaya kau menjadi muslim (yang baik). Jangan kau bergaul dengan orang durhaka karena ia akan ‘mengajarimu’ kedurhakaannya (sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW, ‘Seseorang dapat dilihat dari beragama sahabatnya. Oleh karenanya, perhatikanlah kepada siapa kamu bersahabat.’) Bermusyawarahlah dengan orang yang takut kepada Allah untuk memberi pertimbangan dalam putusanmu,” kata Imam Ja’far.


“Wahai cucu Rasulullah, tambahkan lagi nasihat itu,” kata Imam Sufyan.


“Wahai Sufyan, siapa saja yang menginginkan kemuliaan tanpa karib kerabat/kabilah (di tengah masyarakat komunal) dan wibawa tanpa kekuasaan, hendaklah ia keluar dari rendah kemaksiatan Allah menuju ketaatan-Nya,” kata Imam Ja’far.


“Wahai putra Rasulullah, tambahkan lagi nasihatmu,” kata Imam Sufyan.


“Ayahku mengajariku tiga hal, ‘Anakku, orang yang bersahabat dengan orang jahat tidak akan selamat. Siapa saja yang masuk melalui tempat jalan yang buruk, maka ia akan dituduh. Orang yang tidak dapat menguasai ucapannya akan menyesal di kemudian hari,’” kata Imam Ja’far.


*


Pesan-pesan moral Sayyidina Imam Ja’far As-Shadiq kepada Imam Sufyan Ats-Tsauri ini tidak main-main. Semua pesannya mengandung nilai-nilai mutiara yang bermutu tinggi. Pesan moral ini disampaikan oleh orang saleh dan berilmu kepada orang yang juga saleh dan berilmu.


Kisah ini dikutip dari Kitab Mukasyafatul Qulub karya Imam Al-Ghazali, (Beirut, Darul Fikr: 2019 M/1440 H), halaman 198. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)


No comments:

Post a Comment