Thursday, October 29, 2020

Radio: Napak tilas jejak Islam di negri 10001 menara.

 



NAPAK TILAS ISLAM DINEGRI SERIBU SATU MENARA.


قصر مريم / kastil Maryam.





Benteng Shalahudin Al Ayubi.


Benteng Salahuddin



Orang Barat biasa disebut “Benteng Saladin”.  Sejarah catatan, benteng ini dibangun oleh panglima perang Muslim terkemuka dari Dinasti Ayubiyah, Salahuddin Al- Ayubi, pada 1170 M. Benteng ini dibangun di atas Bukit Muqatam yang terletak di antara Kota Kairo dan Fustat, Mesir.



Karena tarif di atas bukit, setiap orang yang mengunjungi Benteng Salahuddin bisa menikmati pemandangan seluruh penjuru Kairo.  Bahkan, peninggalan raja-raja Mesir, seperti piramida Giza yang tersohor itu bisa terlihat dari Benteng Salahuddin.



Salahuddin membangun benteng ini sebagai tempat latihan militer serta melindungi Mesir dari serangan Pasukan Salib.  Kala itu, memang sedang berkobar Perang Salib.  Benteng peninggalan panglima perang berjuluk Singa Padang Pasir ini sempat dilupakan dan tidak terurus hingga pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk.  Di abad ke-14 M, benteng yang telah berjasa melindungi Mesir dari Pasukan Salib ini mulai mendapat perhatian dan perawatan.  n









Mesjid Sayyidah Zainab.




MASJID dan makam Sayyida Zainab berdiri di jantung alun-alun di Kairo, dinamai Sayyida Zainab. Kebanyakan sejarawan percaya bahwa dia dimakamkan di Damaskus (Suriah) tetapi menurut penguasa Fatimiyah Mesir, di hari-hari terakhirnya dia tinggal dan meninggal di Kairo.  Menurut wasiatnya, dia dimakamkan di tempat yang sama tempat dia tinggal selama sebelas bulan di al-Fustat (Kairo Tua).


Untuk mencapai Makam Sayyidah Zainab, dibutuhkan waktu sekitar 40 menit dari hotel di Grand Pyramids.  Anda bisa melewati kawasan Giza di mana piramida bisa terlihat dari kejauhan.  Jalur ini juga berbahaya bagi Sungai Nil, salah satu sungai terpanjang di dunia dan terlibat dalam sejarah masa lalu.


Perlu sedikit berjalan kaki untuk mencapai masjid dari lokasi parkiran jika Anda menggunakan bus.  Anda perlu menerima penerimaan jika ingin bersedekah karena di sini sudah cukup banyak para peminta.  Ada juga yang siap Anda siapkan kantong plastik untuk menyimpan sandal Anda selama berada di dalam masjid.  Anda bisa juga menitipkan sandal Anda kepada petugas penitipan sandal.


Menuju tempat wudhu, Anda harus berjalan menyusuri sisi dalam masjid.  Masjidnya cukup luas, begitu juga dengan tempat wudhunya.




Mesjid Sayyidah Nafisah.





Tulisan kali ini akan mengangkat sosok Muslimah yang menonjol dalam hal ilmu dan kesolehan, yang membekas hingga jauh selepas wafatnya. Muslimah ini adalah Sayyidah Nafisah binti al-Hasan al-Alawiyah al-Hasaniyah, seorang perempuan alim ahli ibadah keturunan Nabi Muhammad ﷺ yang wafat di Mesir.

Nama dan nasab beliau adalah Nafisah binti Abu Muhammad al-Hasan bin Zaid bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib (al-Dhahabi, 1985: 279; Ibn Kathir, 1998: 170; Ibn Khallikan, 1868: 574). Dengan kata lain, beliau adalah cicit kepada al-Hasan, putera Fatimah binti Rasulillah shallallahu alaihi wasallam . Al-Hasan, ayah Sayyidah Nafisah, merupakan seorang yang memiliki keutamaan dan pernah diangkat oleh Khalifah al-Mansur sebagai gubernur di Madinah (al-Zubayri, tt: 56). 


Ia menjadi gubernur di Madinah selama kurang lebih lima tahun. Kemudian satu sebab, al-Mansur marah. Ia dipecat, dipenjarakan di Baghdad, dan kekayaannya disita. Setelah al-Mansur wafat, penggantinya al-Mahdi membebaskan al-Hasan dan mengembalikan harta benda. Al-Hasan kemudian menemani al-Mahdi dalam perjalanan haji ke Makkah, tetapi ia wafat di perjalanan, di satu tempat bernama al-Hajir, sekitar lima mil dari Madinah. Ini terjadi pada tahun 168 / 784-5 dan usianya ketika itu 85 tahun (al-Dhahabi, 1996: 106; Ibn Kathir, 1998: 170; Ibn Khallikan, 1868: 574; Ibn Taghribirdi, 1972: 185).

Al-Hasan bin Zaid pernah menyampaikan hadits Nabi melalui jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas dan diriwayatkan oleh Imam al-Nasa'i (Ibn Kathir, 1998: 170). Salah satu anaknya, al-Qasim, saudara Sayyidah Nafisah, tinggal di Nishapur, Iran bagian Timur. Ia merupakan seorang yang soleh dan zuhud. Salah satu keturunannya kelak ada yang menjadi hadits perawi bagi Imam al-Bayhaqi (al-Dhahabi, 1996: 107; al-Munawi, tt: 495). Sayyidah Nafisah sendiri merupakan seorang yang alim dan beberapa ulama nantinya akan mendapatkan manfaat dari ilmunya.

Sayyidah Nafisah lahir di Makkah pada tahun 145 / 762-3 (al-Munawi, tt: 494). Saat masih kecil, ia ikut menyertai yang menjadi gubernur di Madinah dan tinggal di kota itu. Dianugerahi pikiran yang cerdas, ia dapat menghafalkan seluruh al-Qur'an dan memahami fiqh secara mendalam sejak usia dini. Ayahnya biasa membawanya ke dalam ruangan tempat makam Rasulullah ﷺ, yang dahulunya juga merupakan rumah Sayyidah 'Aisyah radhiallahu anha , dan berdoa untuk puterinya di tempat itu. Pada masa-masa berikutnya, Sayyidah Nafisah rutin berziarah ke makam Nabi shallallahu alaihi wasallam. Semasa hidupnya, ia pergi haji ke Makkah sebanyak 30 kali dan sebagian besar ia lakukan dengan berjalan kaki;dikatakan karena ia mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh Imam Husain    radhiallahu anhu  (ash-Sha'rawi, tt).

Ia menikah usia muda dengan Ishaq al-Mu'tamin bin Ja'far Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, sepupu jauhnya. Dari pernikahan yang gagal mendapatkan putera dan puteri, al-Qasim dan Ummu Kulthum (al-Munawi, tt: 494).

Kelak Sayyidah Nafisah pergi ke Mesir bersama pasangan dan menetap di negeri itu (al-Dhahabi, 1996: 106; Al-Yafi'i, 1997: 33). Dikatakan bahwa penduduk Mesir keluar menyambutnya saat mendengar tentang kedatangannya ke negeri itu pada bulan Ramadhan 193/809 (ash-Sha'rawi, tt).

Sayyidah Nafisah menetap di Mesir hingga akhir hayatnya. Ia banyak sakit jiwa kepada penduduk negeri itu, baik mereka yang sakit, seperti lepra, maupun masyarakat pada umumnya. Selain itu, ia juga merupakan seorang yang zuhud dan sangat banyak jawaban (Ibn Kathir, 1998: 171). Dengan bantuan itu sendiri, ia akan mendapatkan lubang di rumah yang akan menjadi kuburnya kelak. Di dalamnya ia melakukan solat dan mengkhatamkan al-Qur'an sebanyak 6.000 kali (al-Munawi, tt: 494). “Dia adalah pemilik karamah dan burhan,” tulis Ibn Taghribirdi (1972: 186), “nama baik reputasi ke Timur dan ke Barat.”

Pada tahun 199/815, Imam Muhammad bin Idris al-Shafi'i tiba di Kairo, Mesir, tempat di mana ia akan menetap hingga akhir hayatnya (Ibn Khallikan, 1843: 571). Selama berada di Mesir, Imam Syafi'i sering mengunjungi Sayyidah Nafisah dan mendengar dihadiri (Ibn Khallikan, 1868: 575; Al-Yafi'i, 1997: 33). Ash-Sha'rawi (tt) menyebutkan bahwa pada bulan Ramadhan, Imam Syafi'i biasanya memimpin shalat tarawih di masjid tempat Sayyidah Nafisah, dan Sayyidah Nafisah selalu menjadi bagian dari jamaah solat tersebut. Ibn Kathir (1998: 171) juga menyebut hal ini, walaupun tidak memastikannya.

Sudah diketahui umum bahwa Imam Syafi'i memiliki kecintaan yang kuat terhadap Ahlul Bait di mana Sayyidah Nafisah termasuk di dalamnya. Imam Syafi'i sendiri merupakan keturunan al-Muttalib bin Abdu Manaf dari pihak yang menyatakan (Ibn Khallikan, 1843: 569; al-Razi, 1986: 23). Di dalam hadits menggambarkan bahwa secara kekerabatan, memasukkan Bani al-Muttalib sebagai bagian dari Bani Hasyim ( innama Banu Hashim wa Banu al-Muttalib shay'un wahidun ) (Al-Bukhari, 1997: 327; Hadits No. 4229). Sementara hal yang sama tidak ada pada Bani Abd Syams dan Bani Nawfal, walaupun mereka sama-sama keturunan langsung Abdu Manaf.Hal ini disebabkan Bani al-Muttalib - sebagai kabilah - tidak pernah meninggalkan Nabi baik di era Jahiliyah maupun di era Islam (Al-Nasa'i, 2007: 97; Hadits No. 4142).

Ketika Imam Syafi'i wafat pada hari Jum'at akhir bulan Rajab tahun 204/820 (Ibn Khallikan, 1843: 571), sesuai wasiatnya, jenazahnya dibawa ke rumah Sayyidah Nafisah agar beliau bisa ikut menyolatkan dan mendoakannya. Hal ini disebabkan keadaan beliau yang sudah lemah, sehingga solat diadakan di tempat itu untuk bersenang-senang. Sayyidah Nafisah ikut menyolatkan jenazah Imam Syafi'i sebagai makmum di bagian perempuan (Ibn Kathir, 1998: 171; Ibn Khallikan, 1868: 575; al-Munawi, tt: 495). Ini hormati penghormatan Imam Syafi'i terhadap Sayyidah Nafisah serta pengakuan beliau akan berdirinya yang mulia.

Menurut ash-Sha'rawi (tt), Imam Syafi'i bukan satu-satunya ulama di Mesir yang berkunjung kepada Sayyidah Nafisah dan mendapat manfaat dari ilmu dan ketaqwaan beliau. Beberapa ulama dan tokoh sufi juga kerap mengunjunginya - komunikasi dengan lelaki yang bukan mahram yang biasanya dilakukan dibalik hijab - di antaranya adalah Dhun-Nun al-Misri dan Abul Hasan bin Ali bin Ibrahim yang menulis tentang tata bahasa al-Qur'an.

Sayyidah Nafisah masih hidup empat tahun setelah wafatnya Imam Syafi'i. Hidupnya dipenuhi dengan ibadah, kondisi tubuh lemah dan kekuatannya terbatas. Berkenaan dengan kebiasaan ibadahnya, keponakannya Zainab yang menemaninya selama 40 tahun menyaksikan betapa ia tak pernah tidur di malam hari dan tak pernah makan di siang hari. Suatu kali ia menyatakan kepada Sayyidah Nafisah, “Engkau harus memperhatikan dirimu sendiri”. Sayyidah menjawab, “Bagaimana saya akan memperhatikan diri saya sendiri sebelum saya berjumpa dengan Rabb saya? Di hadapan saya ada begitu banyak penghalang yang tak seorang pun yang dapat melewatinya kecuali mereka yang sukses ( al-faizun ) (ash-Sha'rawi, tt).

Para Sejarawan menyebutkan bahwa beliau wafat pada bulan Ramadhan tahun 208/824 (al-Dhahabi, 1996: 106; Ibn Kathir, 1998: 171; Ibn Khallikan, 1868: 575; Ibn Taghribirdi, 1972: 186; al-Yafi'i, 1997 : 33). Keadaannya menjelang menjelang wafatnya sementara ia tetap berpuasa. Orang-orang menyarankannya untuk berbuka (membatalkan puasanya), disebabkan keadaannya itu. Selama 30 tahun saya berdoa agar dapat berjumpa Allah dalam keadaan berpuasa, dan saya harus berbuka sekarang? Hal itu tidak akan terjadi.

Setelah itu ia membaca al-Qur'an surat al-An'am dan ayat terakhir yang dibacanya adalah “Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Tuhannya…” (QS 6: 127). Kabar kematian beliau menyebabkan orang-orang berdatangan dari penjuru negeri dan tangisan terdengar di rumah-rumah penduduk Mesir (al-Munawi, tt: 494).


Dikatakan bahwa pada suaminya Ishaq bin Ja'far dibawa oleh jenazahnya ke Madinah dan menguburkannya di Baqi '. Namun ia membatalkan rencananya itu disebabkan penduduk Mesir memohon agar Sayyidah Nafisah dimakamkan di Mesir. Sayyidah Nafisah akhirnya dikuburkan di rumah sendiri, pada lubang yang telah ia gali sebelumnya. Rumah dan makamnya terletak di antara Kairo Lama dan Kairo Baru (Ibn Khallikan, 1868: 575; al-Munawi, tt: 495).

Menurut penulis Encyclopaedia of Islam (Strothmann, 1993: 879), kisah tentang keinginan Ishaq bin Ja'far untuk membawa jenazah istrinya ke Madinah bertentangan dengan cerita yang menyebutkan bahwa Sayyidah Nafisah telah membantu kuburnya sendiri di rumah sakit. Kemungkinan, kemungkinan juga cerita kedua ini benar dengan mengasumsikan bahwa suaminya tidak menganggap penguburan istrinya di lubang yang telah digalinya itu sebagai satu keharusan.  

Al-Sha'rawi (tt) menyebutkan bahwa ketika Sayyidah Nafisah memburuk, ia menyurati suaminya yang ketika itu tinggal di Madinah agar datang ke Mesir. Suaminya kemudian datang bersama anaknya kedua. Boleh jadi Ishaq bin Ja'far ingin menguburkan jenazah istrinya di Madinah agar dekat dengan keluarganya yang tinggal di sana. Namun, ia kemudian mengalah setelah melihat kuatnya kecintaan penduduk Mesir kepada istrinya itu.

Sejak saat itu, makamnya menjadi tempat ziarah orang banyak. Beberapa sumber menyebutkan bahwa doa di tempat itu mustajab (al-Dhahabi, 1996: 107; Ibn Khallikan, 1868: 575; Al-Yafi'i, 1997: 33). Tidak berlaku, Al-Dhahabi (1997: 106) dan Ibn Kathir (1998: 171-172) mengkritik orang-orang di Mesir yang berlebihan dalam ziarah mereka ke makam Sayyidah Nafisah.

Dari itu, Sayyidah Nafisah memang dikenal sebagai salah satu dari tiga wali perempuan paling menonjol di Mesir. Dua yang lainnya adalah Sayyidah Zainab binti Muhammad dan Sayyidah Sakinah (Strothmann, 1993: 879).

Semasa hidupnya dan selepas wafatnya, Sayyidah Nafisah memiliki banyak karamah. Kisah karamahnya adalah berkenaan dengan Sungai Nil yang pernah gagal pasang di musim yang seharusnya pasang, sehingga penduduk Mesir menjadi sangat khawatir, karena ini akan berdampak serius terhadap pertanian di negeri itu. Mereka kemudian mendatangi Sayyidah Nafisah dan mengadukan hal itu. Sayyidah Nafisah memberikan kain penutup wajah dan meminta mereka agar terapkannya ke Sungai Nil. Mereka melakukan, dan segera setelah itu Sungai Nil naik pasang.

Kisah lainnya menyebutkan bahwa saat ia baru datang ke Mesir, ia tinggal di sebuah rumah dan bertetangga dengan keluarga Yahudi. Pada suatu hari, tetangganya yang yahudi itu menitipkan anak perempuan mereka yang kakinya lumpuh di tempat beliau. Anak itu kemudian tergerak hatinya dan mengambil bekas tetesan wudhu 'Sayyidah Nafisah serta mengusapkannya ke kakinya. Setelah itu ia dapat berdiri dan berjalan. Hal ini menyebabkan keluarga Yahudi itu seluruhnya masuk Islam (al-Munawi, tt, 495).

Segala sesuatu tentu dapat terjadi jika Allah berkehendak. Sungguh, Sayyidah Nafisah tidak benar-benar benar-benar dengan tujuan untuk mendapatkan hal-hal yang luar biasa, melainkan agar Tuhannya ridha dan cinta kasih, serta agar ia mendapatkan kemenangan di negeri Akhirat. Dan disebabkan hal itu, ia mendapatkan kemenangan di dua 'negeri', yaitu di dunia dan di akhirat. *

 

Tugu Imam Syafii.


 Peziarah melihat makam Imam Syafi'i di Kairo, Mesir, Selasa (9/9).

Imam Syafi'i atau Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i merupakan seorang mufti besar Islam yang juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i Lahir di Gaza, Palestina di tahun 150 H / 767 M dan wafat pada bulan Rajab tahun 204 H.











































































Wednesday, October 28, 2020

Radio: Menu Rasulullah dan citarasa timteng.

   

MENU RASULULLAH


1.Syurbah Stalbina/سربة تلبنا :

Saripati gandum.

Air

jahe

simsim abyad.

susu.


2.لبن بالفواكه.






3.jalabiya.




4.falafil/طءمية




5.ام على


































































































Saturday, October 24, 2020

Radio: Resep trendi.


 RESEP TRENDI


Nasi kebuli.




Nasi kebuli adalah hidangan nasi berbumbu yang bercitarasa gurih yang ditemukan di Indonesia. Nasi ini dimasak bersama kaldu daging kambing, susu kambing, dan minyak samin, disajikan dengan daging kambing goreng dan kadang ditaburi dengan irisan kurma atau kismis. Hidangan ini populer di kalangan warga Betawi di Jakarta dan warga keturunan Arab di Indonesia.[1] Nasi kebuli menunjukan pengaruh budaya Arab Timur Tengah, tepatnya tradisi Arab Yaman. Nasi ini mirip dengan nasi Biryani.

Dalam kebudayaan Betawi, nasi kebuli biasanya disajikan dalam perayaan keagamaan Islam, seperti lebarankurban, atau maulid. Nasi kebuli juga populer di kawasan kota yang banyak terdapat warga keturunan Arab, seperti Surabaya dan Gresik.

Itu yg diatas adalah resep orginalnya.

Cara memasak



Nasi kebuli dibuat dengan cara menanak nasi bersama kaldu kambing dan susu kambing (kadang diganti santan). Daging kambing ditumis dan dicampurkan ke dalam nasi dengan juga membubuhkan minyak samin untuk memberikan aroma yang khas. Bumbu-bumbu yang dihaluskan dan ditumis bersama nasi ini adalah bawang putihbawang merahlada hitamcengkihketumbarjintankapulagakayu manispala, dan minyak samin. Kemudian daging kambing dimasak bersama dengan nasi setengah matang ini hingga akhirnya benar-benar matang. Daging kambing ini bisa diiris kecil-kecil dan dicampurkan ke dalam nasi, atau digoreng dan disajikan terpisah. Nasi kebuli biasanya disajikan dengan asinan nanas, kadang juga ditambahi sambal goreng hati.